Kisah ini menjelaskan betapa berharganya kunjungan seseorang untuk orang yang ada di lingkungan rumahnya. Cerita ini juga membuktikan betapa pentingnya kita mengenal dan mengetahui kondisi tetangga di sekitar rumah kita. Mungkin, di antara mereka ada yang sedang membutuhkan kunjungan, uluran tangan, atau sekedar motivasi dari kita. Bisa jadi dengan sebab kunjungan kita, timbul kebahagian yang luar biasa untuk satu keluarga beserta anak keturunannya.
Besarnya Hak Tetangga
Dalam hadis yang sahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita agar memuliakan tetangga. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, kita diperintahkan bukan hanya sekedar berbuat baik kepada tetangga, tetapi juga memuliakan tetangga. Jadikan mereka seperti raja atau orang penting di hadapan kita. Sehingga, perintah untuk ‘memuliakan’ dalam hadis ini benar-benar kita laksanakan sebagai bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Kisah ini diceritakan oleh seorang da’i di Saudi Arabia tentang saudaranya yang tinggal di kota Riyadh. Da’i tersebut menuturkan bahwa saudaranya ini memiliki kebiasaan baik, yaitu jika tinggal di suatu tempat, ia harus mengenal dan mengunjungi semua tetangganya. Minimalnya tetangga dekat yang masih satu bangunan. Dikarenakan bangunan rumah di Saudi umumnya tidak seperti di negara kita, di mana satu bangunan untuk satu rumah dengan satu atap. Di Saudi dan negeri-negeri Arab umumnya, mayoritas rumah dibangun menyerupai apartemen, yaitu satu bangunan untuk beberapa rumah, dengan jumlah lantai rata-rata 3 sampai 5 lantai, dan tiap lantai biasanya digunakan untuk dua rumah atau dua keluarga.
Di tempat tinggal barunya, saudara da’i tersebut sudah berkenalan dan menjalin hubungan baik dengan tetangga-tetangganya, kecuali dengan satu keluarga. Bukan karena tiada kesempatan atau usaha untuk bertemu, namun Allah belum menakdirkan kesempatan tersebut tiba. Padahal siang dan malam saudara da’i sudah berusaha untuk bertemu. Sampai suatu malam, tepatnya di akhir malam, ketika terdengar suara dari rumah tetangga misteriusnya, saudara da’i pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya beberapa kali, hingga keluarlah seorang laki-laki dalam kondisi mabuk.
“Subhanallah tetangga saya ternyata suka mabuk-mabukan sementara saya tidak tahu.” Batin beliau. Maka beliau pun meminta izin untuk pergi setelah melihat kondisi yang kurang mendukung, “saya akan mengunjungimu di lain waktu.”
Di kesempatan yang lain, ia pun kembali memberanikan diri untuk mengunjungi tetangga ‘spesial’nya. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, keluarlah laki-laki yang sama dengan mengenakan pakaian yang kurang layak. Maka, mulailah beliau memperkenalkan diri kepada laki-laki itu sebagai tetangga dekatnya. Laki-laki tersebut hanya mengangguk tanpa balik memperkenalkan diri. Sambutannya hambar.
Saudara da’i pun berinisiatif menjelaskan tujuan kunjungannya, namun jawab laki-laki itu di luar dugaan: “Wahai saudaraku, jalan kehidupan kita berbeda. Anda seorang muthawwa’ (orang yang taat pada agama) sementara kondisiku, Anda sudah ketahui sendiri. Sepertinya kalau kita duduk bersama, pembicaraan kita tidak akan menemui kecocokan.”
Mendengar hal tersebut, saudara da’i pun berusaha membuatnya tersenyum dengan mengatakan, “kalau memang saya tidak bisa duduk denganmu kecuali harus dengan menuangkan khamr (minuman keras) untukmu, silahkan bawa khamr-nya, saya yang menuangkannya untukmu.” Dalam hati kecil beliau, sambutan jujur dari sang tetangga memang tidak bisa diterima.
Tanpa disangka, jawaban tetangga baru yang baik hati itu meluluhkan hati laki-laki tersebut. Maka jawabnya, “Baik, di lain waktu kita saling mengunjungi, insyaallah.”
Walaupun tentu secara hukum syariat tidak boleh seseorang membantu menuangkan khamr untuk orang lain, karena hal itu merupakan bagian dari tolong menolong dalam perbuatan dosa, namun, saudara da’i ingin meyakinkan bahwa dirinya sangat ingin duduk dengan laki-laki tersebut dan berusaha memecahkan penghalang di antara mereka. Ternyata, usahanya membuahkan hasil.
Beberapa waktu kemudian, pada suatu siang, saudara da’i meminta istrinya untuk mengunjungi rumah tetangganya tersebut. Tujuannya untuk mengenal istri laki-laki pemabuk agar istrinya berkenalan dengan istri laki-laki itu. Setelah mengetuk pintu dan memperkenalkan diri serta melakukan pembicaraan yang sedikit alot, akhirnya diizikanlah sang saudara da’i itu untuk bertamu ke rumah tetangganya.
Selesai kunjungan yang singkat itu, sang istri kembali pulang dalam kondisi menangis. Ia menjelaskan kepada suaminya bahwa kondisi rumah yang baru dikunjunginya itu sangat tidak layak. Tidak ada alas di lantainya sama sekali. Anak-anak mereka tidur di atas lantai. Padahal, di Arab, terutama Saudi, keberadaan karpet yang tebal sebagai alas lazim ada hampir di setiap rumah.
Sang istri juga menjelaskan bahwa botol bekas minuman keras berserakan di dalam rumah disertai aromanya yang menyengat. Anak-anak tetangganya yang masih bayi pun tidak menggunakan pampers, memaksa sang ibu harus membersihkan air kencing dan kotoran yang berserakan di lantai. Hal tersebut diperparah dengan kelakuan ayah anak-anak tersebut yang gemar mengajak para pemuda untuk pesta khamr di rumah mereka. Bahkan terkadang, ketika suaminya sudah hilang kesadaran, para pemuda itu berusaha mendobrak pintu untuk masuk ke area tengah rumah. Sehingga, istri dan anak-anaknya terpaksa mengunci diri di dalam kamar.
Hampir seluruh pendapatan suaminya dipakai untuk hal haram. Di samping itu, sifatnya yang bengis terhadap istri dan anak-anak menjadikan mereka hidup sengsara dalam rumah layaknya tawanan perang atau hamba sahaya. Sunnguh, kondisi rumah tetangganya sangat menyedihkan.
Setelah mendengar cerita dari istrinya, saudara da’i bertekad untuk berkunjung sendiri. Kembali ia mengetuk pintu rumah tetangganya. Sekali, dua kali, barulah dibukakan pintu. Laki-laki pemabuk mengatakan, “Wahai saudaraku jalan hidup kita berbeda, kamu tidak bisa menyelamatkanku, dan saya tidak akan mendengar ucapanmu. Saya ini orang yang sudah kecanduan minuman keras.” Maka jawab beliau, “Wahai saudaraku, saya sangat berharap bisa berbincang denganmu walaupun sebentar.” Akhirnya ia diizinkan masuk ke rumahnya.
Perbincangan dua tetangga itu pun dimulai. Saudara sang da’i tidak berbicara kecuali tentang keagungan Allah. Beliau menjelaskan tentang kebesaran Allah, kelembutan-Nya, kasih sayang-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, ampunan-Nya dan sifat-sifat terpuji lainnya. Tiba-tiba saja laki-laki itu menangis dan berkata, “Saya tidak pernah mendengar ucapan seperti ini, dan tidak pernah ada orang yang berani menjelaskan hal ini kepadaku. Kondisi saya sudah sangat jauh dari Allah Rabb alam semesta.”
Tahukah Anda apa yang terjadi setelah itu? Ia tidak mau ditinggalkan oleh laki-laki salih ini. Ia khawatir imannya kembali lemah dan teman-temannya yang buruk kembali menariknya kepada maksiat dan dunia yang kelam. Sementara ia sudah mendapatkan kenikmatan dengan duduk bersama tetangga barunya ini. Bahkan, ia minta sambil bersumpah dengan nama Allah.
Akhirnya dibawalah laki-laki itu ke tempat para pemuda yang baik, disambutnya ia dengan hangat. Kemudian saudara da’i mengatakan kepada setiap pemuda baik yang ada di sana, “Siapa di antara kalian yang bisa pergi bersama kami ke Mekah?” Tawaran ini disambut baik oleh pemuda di sana. Pergilah mereka ke Mekah dan menjalankan berbagai jenis kebaikan dan ketaatan sebagaimana seharusnya seorang muslim lakukan di kota suci tersebut.
Hingga ketika kembali ke rumahnya, laki-laki ini mengetuk pintu, kemudian istrinya bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?” Ia menjawab, “Saya, suamimu.” Istrinya menjawab, “Bukan, kamu bukan suamiku. Siapa kamu? Atau saya telpon polisi sekarang!”
Sang istri tidak percaya dengan ucapan suaminya karena memang sebelumnya ia tidak pernah mengetuk pintu dulu, tapi mendobrak atau memukul pintu dengan sangat keras. Akhirnya suami ini menjelaskan semua hal terkait dirinya untuk membuat sang istri percaya. Maka dibukakanlah pintu, dan sang istri sangat kaget dengan sikap suaminya yang sangat berbeda. Sementara ketika itu anak-anak mereka langsung lari masuk ke dalam kamar karena takut akan kebengisan ayahnya. Suaminya pun berkata, “Wahai istriku, maafkan aku.” Seketika itu istrinya menangis.
Suaminya kemudian meminta agar anak-anaknya dipanggil. Setelah dijelaskan oleh sang istri, bahwa ayahnya ingin bertemu dan sikapnya sudah berubah, mereka pun mau menemui ayahnya. Ketika berkumpul dan sang ayah meminta maaf kepada anak-anaknya, semua mereka menangis bahagia dan terharu. Jadilah malam itu malam terindah bagi kehidupan mereka sepanjang berumah tangga.
Faidah dari Kisah
Kisah ini menyisipkan banyak pesan dan faidah: Pertama, pentingnya memperhatikan kondisi orang di sekitar kita, terutama tetangga dekat. Bisa jadi, ada di antara mereka yang sedang sangat membutuhkan bantuan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya (Demi Allah), sungguh seorang hamba tidak sempurna keimanannya sampai ia menyenangi kebaikan untuk tetangganya sebagaimana ia menyenangi hal itu untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, jangan pernah menyepelekan dakwah kepada siapa pun. Bahkan, kepada orang yang secara kasat mata mustahil akan menerima dakwah kita. Hendaknya kita ingat, bahwa di balik orang ini ada keluarga besar yang menanti hidayah menyapa hatinya. Sungguh, satu keluarga ini, Allah berikan kebahagiaan dengan sebab usaha seseorang yang gigih dalam dakwahnya. Di samping itu, pahala yang sangat besar Allah janjikan bagi orang-orang yang berdakwah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, baginya pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).
Ketiga, hendaknya tauhid menjadi hal yang prioritas dalam dakwah. Lihat, bagaimana saudara da’i memulai dakwahnya kepada pecandu minuman keras dengan menjelaskan keagungan Allah. Secara fitrah, seseorang jika diingatkan akan kebesaran Allah, ia akan mencintai Allah dan mengagungkan-Nya. Setelahnya, ia akan lebih mudah diarahkan untuk mengerjakan perintah Allah yang lain.
Sejatinya masih banyak faidah yang bisa kita petik dari kisah di atas. Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini menjadi penyemangat kita dalam berdakwah dan mengajak orang lain kepada kebaikan.
Ditulis di Sukabumi, 05 Muharram 1445 H / 23 Juli 2023 M