Isu atau bahasan tentang pelestarian lingkungan hidup, terutama tentang penggunaan bahan-bahan yang ramah lingkungan kembali mengemuka. Kesadaran masyarakat tentang bahaya dari penggunaan bungkus makanan yang terbuat dari bahan plastik ataupun styrofoam mulai timbul. Keinginan untuk mulai mengurangi pemakaian plastic, misalnya dengan adanya larangan berupa Peraturan Daerah (Perda)1 di masing-masing wilayah yang membatasi pusat perbelanjaan/minimarket memberikan kantung plastik sebagai alat membawa belanjaan, sampai himbauan kepada para konsumen untuk membawa tas belanjaannya sendiri menjadi beberapa bukti munculnya kesadaran tersebut.
Sejenis dengan kantong berbahan plastik, kantong atau wadah berbahan styrofoam, bahan yang saat ini popular digunakan sebagai wadah atau kemasan makanan, harusnya juga mendapat perhatian yang serupa. Berdasarkan penelitian, diperlukan waktu kurang lebih 500-1 juta tahun untuk sampah styrofoam bisa terurai oleh tanah. Tentu saja hal ini sangat mengerikan, tak bisa kita bayangkan beberapa waktu ke depan, apabila hal ini dibiarkan saja, maka akan terjadi timbunan plastik dan styrofoam yang tidak terkendali, karena itulah oleh beberapa pihak styrofoam dinyatakan sebagai “sampah abadi”2. Bumi yang kita tinggali selama ini, bukan tidak mungkin permukaannya tertutupi oleh dua sampah tersebut.
Sebenarnya, para pendahulu kita sudah memberikan contoh tentang bagaimana cara kita menggunakan secara bijak bahan-bahan yang ramah dengan lingkungan di sekitar kita. Salah satunya yang penulis ketahui dan alami yaitu di masyarakat Jawa Barat. Bahan tersebut yaitu bambu. Bambu yang keberadaannya memang melimpah di wilayah Jawa Barat ini telah digunakan dari dahulu kala dan diolah sedemikian rupa menjadi bentuk yang beraneka ragam, dengan sifatnya yang fleksibel itulah maka tercipta alat-alat rumah tangga seperti hihid3, aseupan 4, boboko 5, nyiru 6, keukeuba7 dan lain sebagainya. Peralatan tersebut seakan jadi hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari urang Sunda.
Berkaitan dengan tema kita awal di atas yaitu tentang alternatif dari penggunaan plastik dan styrofoam, maka urang Sunda biasanya menggunakan keukeuba sebagai wadah untuk membungkus makanan. Wadah yang dibuat dengan pola anyaman ini menjadi sebuah perlengkapan yang sering digunakan untuk acara-acara tertentu misalnya hajatan/kenduri. Dalam bahasa Sunda ada kata pamulang yang merupakan balasan dari nyambungan8. Pamulang artinya adalah si tuan rumah atau yang mengadakan hajat, memberi balasan berupa makanan kepada para tamu undangan yang datang atau memberikan uang (Nyambungan). Nah, wadah yang digunakan untuk makanan balasan dari orang yang memiliki hajatan itulah yang dinamakan keukeuba. Selain itu, keukeuba juga bisa kita temukan sebagai wadah dari makanan khas Sukabumi yang bernama Mochi, walaupun dalam ukuran yang lazimnya lebih kecil dari keukeuba yang digunakan dalam acara hajatan.
Kearifan lokal yang pernah dilakukan oleh pendahulu kita tersebut sebetulnya masih bisa kita lakukan. Memang mungkin dari segi kepraktisan, keukeuba ini kalah dari styrofoam yang bisa diproduksi lebih mudah dan cepat. Akan tetapi, dalam jangka panjang, memang harus sudah kita pikirkan kembali penggunaan bahan yang ramah lingkungan tersebut. Apalagi bambu adalah salah satu bahan yang bisa diperbaharui kembali, sehingga apabila kita konsisten dengan hal tersebut, kekhawatiran akan tenggelamnya bumi kita oleh tumpukan sampah plastik tidak perlu terjadi.
Perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat memang kadang memerlukan waktu yang lebih lama, tapi bukan berarti tidak layak kita coba. Kapan kita mencobanya? Lebih baik sekarang! Dari pada terlambat dan hanya penyesalan yang datang kemudian.
* Penulis adalah Pengampu IPS Terpadu di Madrasah Aliyah Al Ma’tuq Sukabumi.
Catatan kaki :
1. Sebagai contoh Perwali (Peraturan Walikota) Sukabumi nomor 19 Tahun 2019 Tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik.
2. Dilansir dari halaman situs Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat.
3. Hihid : Kipas dari bambu untuk menanak nasi.
4. Aseupan : Kukusan.
5. Boboko : Bakul Nasi.
6. Nyiru : Tampah.
7. Keukeuba : wadah/besek dari bambu.
8. Nyambungan : tradisi memberi uang (ngamplop), bahan makanan dsb kepada tuan rumah hajatan. Kegiatan ini bermakna juga untuk nyambungkeun (menyambungkan) tali silaturahmi.
Kemunculan keukeba sepertinya ada jauh sebelum adanya stereoform. Jadi, pengistilah keukeuba sebagai wadah makanan pengganti stereoform kurang mengena. Lebih tepat menggunakan istilah isu-isu lingkungan, seperti “lebih ramah lingkungan, menjaga bumi, ” dll.
Terima kasih.