FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENYIMPANGAN DARI AKIDAH YANG BENAR
Oleh: Ustadz Muhammad Ichsan, BA., M.Pd.
Akidah merupakan hal yang sangat esensial di dalam beragama. Tanpa dilandasi akidah, sebuah agama tidak akan terbangun secara kokoh, bahkan tidak layak disebut dengan agama. Oleh karenanya di dalam setiap agama manapun terdapat akidah yang menjadi pondasi pada ajaran tersebut.
Sebagai contoh, agama Yahudi memiliki akidah bahwa mereka adalah kaum pilihan, dan manusia-manusia selain mereka menurut keyakinan mereka hanyalah binatang-binatang yang diciptakan oleh Allah untuk berkhidmat kepada mereka. Agama Nasrani memiliki akidah bahwa tuhan terdiri dari tiga anggota, yang ketiganya pada hakikatnya adalah satu menurut keyakinan mereka, sebuah konsep yang sulit dipahami oleh akal pikiran dan juga fitrah manusia. Baik Yahudi maupun Nasrani, akidah mereka sepakat di dalam menolak kenabian Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.
Sebagaimana Yahudi dan Nasrani memiliki akidah, demikian pula agama Islam. Islam memiliki berbagai ajaran akidah yang semuanya bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun dengan seiring berputarnya zaman, dan juga godaan setan tentunya, banyak dari kaum muslimin terjatuh pada penyimpangan akidah. Akibatnya, sebagian kaum muslimin ada yang merubah keyakinan mereka dari akidah yang mulanya sesuai dengan fitrah, menjadi akidah yang mengikuti hawa nafsu dan menyelisihi fitrah. Seperti halnya meyakini bolehnya perempuan menjadi imam di dalam salat berjamaah, bolehnya memberontak dari pemimpin yang sah, bolehnya merayakan Maulid Nabi, bahkan yang sampai kepada tingkat kekufuran seperti meyakini bolehnya meminta kepada kuburan orang-orang saleh, atau meyakini bahwa semua agama itu benar.
Ada dua faktor yang dapat menyebabkan munculnya penyimpangan dari akidah yang benar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dimaksud di antaranya:
1. Hawa nafsu.
Pada asalnya nafsu akan mengajak kepada keburukan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Apabila seseorang tidak mengikuti dalil dan hanya mengikuti hawa nafsunya saja, maka akan terjadi penyimpangan terhadap akidah, sebagaimana orang yang menolak sifat-sifat Allah, seperti sifat tangan, sifat istiwa, dan lain-nya.
2. Jahil terhadap akidah yang benar dan tidak memiliki kesungguhan dalam mempelajari akidah yang benar.
Kejahilan merupakan faktor internal utama yang dapat menyebabkan akidah seseorang rusak. Sebaliknya, ilmu dapat mengokohkan seseorang agar tidak terjatuh kepada penyimpangan akidah. Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan tentang Bani Israil:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Kami menyeberangkan Bani Israil (melintasi) laut itu (dengan selamat). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang masih tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa, buatlah untuk kami tuhan (berupa berhala) sebagaimana tuhan-tuhan mereka.” (Musa) menjawab, “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.” (QS. Al-A’raf:138)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengisahkan bagaimana kaum musyrikin Quraisy dengan kejahilan mereka, mengajak Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam untuk ikut menyembah tuhan-tuhan mereka. Allah berfirman:
قُلْ اَفَغَيْرَ اللّٰهِ تَأْمُرُوْۤنِّيْٓ اَعْبُدُ اَيُّهَا الْجٰهِلُوْنَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), “Apakah kamu menyuruhku (untuk) menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. Az-Zumar:64)
Oleh karenanya kejahilan merupakan induk dari berbagai macam penyakit dan juga penyebab utama kesesatan. Tatkala seseorang jahil terhadap agamanya, maka akan sangat rentan baginya untuk terjatuh kepada penyimpangan agama termasuk di dalamnya pada segi akidah.
3. Ta’ashub[1] dengan ajaran nenek moyang walaupun ajaran yang mengandung kebatilan.
Ta’ashub dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penyimpangan akidah. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh paman Nabi shalallahu alaihi wa sallam, Abu Thalib, di mana pada penghujung hayatnya, Nabi telah mendakwahinya dengan mengatakan:
يا عم قل كلمة أحاج لك بها عند الله
“Wahai paman, katakanlah sebuah kalimat, yang dengannya aku akan membelamu dihadapan Allah”.
Maka pada kondisi Abu Thalib mengalami sakaratul maut tersebut, Abu Jahal hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sederhana ke telinga paman Nabi tersebut.
أترغب عن ملة عبد المطلب؟
“Apakah engkau tidak suka dengan agamanya Abdul Muthalib?”
Ta’ashub terhadap kabilahlah yang menyebabkan Abu Thalib terperosok ke dalam neraka Jahannam.
4. Ghuluw[2] di dalam mengagungkan para wali dan orang-orang saleh, dengan mengangkat derajat mereka di atas yang sepantasnya.
Kita semua mengakui kemuliaan orang saleh, merekalah perhiasan yang menghiasi permukaan dunia ini. Oleh karenanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam memuji para istri-istri salehah yang taat kepada suaminya. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة
“Dunia ini adalah sebuah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah” (HR. Muslim 1467)
Nabi shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
لا تطروني كما أطرت النصارى عيسى ابن مريم ، فإنما أنا عبده، فقولو عبد الله و رسوله
“Jangan kalian bersikap berlebih-lebihan di dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan di dalam memuji Isa bin Maryam, sebab sesungguhnya aku ini hanyalah seorang hamba Allah, maka ucapkanlah Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Adapun faktor eksternal, maka hal ini bisa berasal dari godaan setan yang membisiki, pergaulan yang salah, kemiskinan, ataupun bisa juga dari faktor lainnya, seperti:
1. Pengaruh Orang Tua.
Orang tua memiliki pengaruh di dalam kelurusan akidah seorang anak, sebagaimana orang tua dapat berperan dalam kelurusan akidah seseorang. Oleh karenanya benar pepatah yang mengatakan “”الأم مدرسة الأولى atau yang artinya ” ibu adalah madrasah pertama bagi anak”. Kalau seandainya seorang anak dari kecil sudah didik dengan kesyirikan, seperti tathoyyur[3] , atau doktrin “Allah ada di mana-mana” dan keyakinan-keyakinan menyimpang lainnya, maka pada umumnya sang anak pun akan mengikuti akidah orang tuanya, kecuali orang-orang yang dilindungi oleh Allah dengan rahmat-Nya.
2. Pengaruh dari Media Sosial.
Sebagaimana kejahilan dapat menjadi penyebab penyimpangan di dalam akidah, media sosial pun demikian. Meskipun media sosial adalah sebuah wasilah yang dapat kita pergunakan untuk menghilangkan kebodohan, namun tetap saja banyak syubhat penyimpangan akidah yang tersebar dalam media sosial. Kita pun dapat melihat realita di zaman ini, betapa banyak syubhat tersebar di dunia ini melalui media sosial. Dan apabila kita membaca setiap artikel atau video tanpa menyaringnya, dikhawatirkan akidah kita pun akan terpengaruh dengannya.
Dan terlalu banyak menyibukan diri dengan media sosial adalah suatu bentuk perbuatan yang melalaikan. Dan sifat lalai pun dapat membuat seseorang menyimpang dari kebenaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan para pengikutnya:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ اٰيَةً ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ عَنْ اٰيٰتِنَا لَغٰفِلُوْنَ
“Pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelah kamu. Sesungguhnya kebanyakan manusia benar-benar lengah (tidak mengindahkan) tanda-tanda (kekuasaan) Kami.”
Dalam ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa di antara sifat orang-orang kafir adalah lalai terhadap peringatan Allah, dan salah satu faktor yang membuat kaum muslimin lalai di zaman ini adalah media sosial.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menjaga kita dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyimpangan terhadap akidah yang benar.
[1] Fanatik terhadap suatu komunitas
[2] Berlebih-lebihan didalam memuji ataupun mencela
[3] Mengkait-kaitkan kesialan dengan sesuatu tertentu (kalau di negeri kita lebih dikenal dengan pamali)