Makna Dibalik Iket Kepala Urang Sunda
Penulis : M. Rusli Agustian, S.IP
Dalam upaya mengenalkan serta melestarikan budaya Sunda, maka sudah beberapa tahun belakangan ini di beberapa wilayah Provinsi Jawa Barat mulai digalakkan kembali kegiatan-kegiatan kebudayaan yang inti tujuannya adalah agar masyarakat lebih mencintai budaya mereka.
Salah satu contoh kegiatan tersebut adalah gerakan “Rebo Nyunda“, yaitu suatu gerakan yang dilaksanakan di setiap instansi pemerintahan dan juga di lembaga-lembaga pendidikan. Sesuai namanya, “Rebo Nyunda” dilaksanakan di setiap hari Rabu. Bentuknya, para Aparatur Sipil Negara (ASN) dari tingkat provinsi hingga ke tingkat paling bawah yaitu pemerintahan desa diwajibkan menggunakan pakaian adat khas Sunda. Untuk laki-laki menggunakan seragam pangsi plus ikat kepalanya. Pun demikian dengan anak-anak sekolah, mereka melakukan hal yang sama. Selain itu dikenal juga dengan “Poe Basa Indung Sadunya“, yaitu hari di mana bahasa Sunda wajib digunakan dalam kegiatan formal di pemerintahan ataupun lembaga pendidikan.
Tentunya kegiatan-kegiatan tersebut merupakan hal yang positif dan patut untuk mendapatkan apresiasi, sebagai upaya untuk melestarikan budaya serta tradisi Sunda di tengah kekhawatiran tentang semakin asingnya generasi sekarang dan genarasi muda dengan budayanya sendiri.
Harus diakui, di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi, terutama dari segi penggunaan bahasa Sunda, terasa bahasa ini semakin terpinggirkan. Rasanya penggunaan bahasa Sunda ini terasa semakin jarang terutama bagi masyarakat yang termasuk area perkotaan, dan bahkan di wilayah pedesaan atau perkampungan pun bahasa Sunda sudah semakin jarang digunakan. Maka program-program seperti yang disebutkan di atas adalah sebuah usaha yang bagus.
Iket (Ikat) Kepala Sunda.
Salah satu yang menjadi ciri khas dari pakaian adat orang Sunda adalah penggunaan ikat kepala atau nantinya akan disebut dengan iket. Iket ini biasa digunakan oleh kaum pria di wilayah Jawa Barat dan Banten, salah satunya adalah adalah Suku Baduy.
Ada beberapa referensi yang menyebutkan bahwa iket yang digunakan di suku Sunda itu berupa-rupa macam bahkan juga bentuk dan warnanya. Hal ini juga bisa dijadikan perbedaan dilihat dari siapa dan golongan strata sosial mana yang memakainya. Tetapi, perbedaan warna dan bentuk itu bukan berarti membeda-bedakan hak dan derajat manusia, karena pada masyarakat Sunda tidak dikenal dengan istilah kasta. Akan tetapi perbedaan ini muncul dari latar belakang pekerjaan ataupun jabatan seseorang. Biasanya untuk kalangan menengah ke atas bukan lagi menggunakan iket, tetapi sudah menggunakan bendo atau sejenis blangkon. Sedangkan untuk masyarakat bawah menggunakan iket yang sudah kita bahas tadi.
Makna dibalik Iket Kepala.
Iket Sunda sendiri terdiri dari sebuah kain yang berbentuk segi empat. Makna di balik ini adalah bahwa alam atau bumi terdiri dari empat arah mata angin, yaitu utara, timur, barat dan selatan. Makna selanjutnya, bentuk segi empat atau kotak, dalam bahasa Sunda itu disebut pasagi, sehingga nanti ada istilah masagi dalam bahasa Sunda, yaitu terampilnya seseorang atau seseorang yang ahli dalam bidang tertentu. Seseorang bisa menjadi masagi apabila sudah ditempa dengan berbagai pengalaman hidup, ujian dan cobaan serta profesional dalam bidangnya
Makna Iket sebagai Pembatas Pemikiran Manusia.
Selain makna yang pertama, iket juga bisa diartikan sebagai pengikat pikiran manusia agar tetap ada dalam pemikiran jalan yang lurus. Akal dan pikiran yang dimiliki oleh manusia adalah sesuatu yang luar biasa, yang bila diarahkan kepada kebaikan, tentunya akan menuntun kehidupan kita ke jalan yang lurus dan diridhai oleh Allah. Sedangkan bila tidak “diikat” maka akal dan pikiran juga akan jauh melenceng dan bisa saja diisi oleh hal-hal yang bertentangan dengan aturan dan tata tertib kehidupan sosial, bahkan yang lebih jauh adalah bertentangan dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala.
Iket sebagai Pengikat Tali Persaudaraan.
Makna yang terakhir yang akan kita bahas adalah bahwa iket bisa berarti “mengikatkan” tali persaudaraan. Dalam kehidupan sosial bermasyarakat, khususnya masyarakat yang berbentuk guyub (Gemeinschaft). nilai-nilai persaudaraan dan kekerabatan haruslah ada perekatnya. Maka, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan istilah yang ada dalam masyarakat Sunda, yaitu Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh, yang pada intinya adalah mengajarkan nilai kesetaraan dan kebersamaan, saling mencintai dan menyayangi serta saling mengingatkan, yang nantinya akan melahirkan istilah lain yaitu “Siliwangi” atau silih ngawangikeun (saling mengharumkan) dengan nilai-nilai kebaikan. Dalam masyarakat Sunda juga diajarkan tentang kesetaraan atau sajajar (pajajaran), saling mencintai, menghormati dan merasa sejajar dengan yang lainnya terutama yang berkaitan dengan hal dan kewajibannya di masyarakat.
Kesimpulannya adalah bahwa kebudayaan yang bila diartikan secara luas sebagai hasil atau buah dari karya peradaban manusia, pastilah memiliki makna lain yang bisa kita telusuri. Butuh sebuah keinginan dan kemauan semua pihak untuk mau belajar agar lebih memahami akar dari mana mereka berasal.