Mengenal Tradisi Botram
Penulis : M. Rusli Agustian, S.IP.
Dalam tradisi di kalangan urang sunda, kegiatan makan memiliki penyebutan atau istilah yang unik. Ada yang kita kenal dengan ngaliwet, kemudian mayoran dan yang terakhir adalah botram. Biasanya penamaan istilah tersebut dibedakan berdasarkan bahan atau jenis makanan, cara pengolahan, jumlah peserta dan maksud serta tujuan acara makan tersebut diadakan.
Sebagai masyarakat yang berbentuk paguyuban (gemeinschaft), biasanya ikatan antar individu yang terdapat dalam masyarakat Sunda akan terjalin dengan kuat, sehingga rasa memiliki dan persaudaraan di antara mereka pun sangat erat. Keterikatan itu biasanya dimanifestasikan dalam bentuk gotong-royong, saling mengunjungi apabila ada salah satu diantara mereka yang sakit atau terkena musibah dan saling membantu dalam bentuk urunan bersama yang disebut dengan perelek.
Pun demikian dengan hal makan, kegiatan makan yang merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan kita bisa menjadi sebuah alat pemersatu atau perekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Makan yang awalnya merupakan hal yang bersifat pribadi atau privat bisa menjadi sebuah hal yang bersifat publik atau dilakukan secara bersama-sama tanpa ada lagi sekat atau batas seperti status sosial atau hirarki-hirarki lainnya.
Penggunaan istilah ngaliwet, mayoran dan botram
Pada dasarnya, istilah ngaliwet, mayoran dan botram merujuk pada satu hal yang sama, yaitu kegiatan makan yang dilakukan secara bersama-sama, hanya saja apabila kita teliti lebih jauh, ternyata ada sedikit perbedaan untuk penggunaan istilah tersebut. Contoh yang pertama yaitu ngaliwet, biasanya digunakan untuk kegiatan makan-makan yang dilaksanakan secara bersama dengan proses memasaknya dilakukan juga secara spontan di tempat yang sama. Dalam ngaliwet juga terjadi distribusi atau pembagian tugas, seperti siapa yang menyiapkan bahan masakan, kemudian siapa yang akan memasak hingga menyiapkan liwet tersebut. Selain itu juga, biasanya masakannya adalah satu jenis saja, misalnya nasi liwet dilengkapi dengan lauk-pauknya dan yang menjadi ciri khasnya adalah penggunaan daun pisang sebagai alas makanan tersebut.
Berbeda dengan mayoran atau botram, biasanya untuk kegiatan ini peserta botram membawa bekal masing-masing dari rumah, dengan jenis makanan yang beragam. Bukan hanya berbentuk nasi saja, tapi bisa juga dengan penganan yang lain. Kemudian, dalam botram tidak ada pembagian tugas secara khusus seperti yang ada pada kegiatan ngaliwet, karena biasanya botram dilakukan melalui perencanaan yang jauh-jauh hari terutama tempat dan waktu pelaksanaannya, sehingga peserta botram sudah siap dengan bekal yang dibawa dari rumah masing-masing.
Apa itu Botram ?
Botram didefinisikan sebagai suatu kegiatan makan bersama yang dilakukan di luar ruangan, biasanya dengan menu yang beraneka ragam. Ada suatu kekhasan tersendiri dengan kegiatan botram itu sendiri, yaitu dilaksanakan secara bersama, kemudian masing-masing peserta membawa menunya sendiri dan yang lebih khas adalah botram dilakukan di momen tertentu terutama ketika ada acara kumpul keluarga misalnya sebelum puasa di bulan Ramadhan atau yang lebih dikenal dengan istilah papajar atau munggahan, bisa juga dilakukan beberapa hari raya Iedul Fitri atau lebaran. Selain itu, biasanya tempatnya adalah di tempat-tempat wisata, sambil beralaskan tikar dan melihat pemandangan yang indah. Ah, nikmatnya.
Dari mana asal kata botram
Sampai sejauh ini, masih belum dipastikan darimana asal kata botram, tapi dari beberapa sumber, penulis menemukan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Belanda. Sebuah hal yang sangat wajar, karena Belanda adalah negara yang pernah menjajah bangsa kita cukup lama, sehingga pengaruh dari penggunaan bahasa tersebut sangat terasa.
Konon, botram berasal dari 2 (dua) kata “Boter” dan “Ham”. Untuk kata Boter sendiri dalam bahasa Belanda adalah roti yang berisi mentega dan Ham adalah irisan daging tipis. Kebiasaan orang Belanda jaman dulu adalah meluangkan waktu untuk berekreasi bersama keluarga atau orang-orang terdekat sambil membawa makanan berupa roti isi mentega dengan irisan daging tipis di dalamnya. Nah, oleh masyarakat Sunda waktu itu kata Boterham terdengar sekilas dan disesuaikan dengan pelafalan lidah, yaitu menjadi botram yang kita kenal sekarang.
Selain itu, menu makanannya pun disesuaikan dengan lidah dan kearifan lokal kita, roti isi mentega dan irisan daging tipis diganti dengan nasi, sayuran, lalapan, goreng-gorengan dan lain-lain yang sesuai dengan selera orang Sunda. Walaupun begitu, hakikat makan bersama dan di luar ruangannya tetap sama.
Apapun istilahnya, kegiatan makan secara bersama adalah sebuah kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan. Kegiatan tersebut akan tetap bernilai positif apabila diniatkan dengan keinginan mempererat tali silaturahmi, nilai positif lainnya adalah menjaga kebersamaan dalam masayarakat tetap ada, sehingga sekat-sekat yang bisa mengantarkan pada perpecahan masyarakat bisa kita hindari.