Kita Masih Tertinggal di Sini!
Oleh: Buldan Taufik, S.Pd.I., B.Sh., M.Pd.
Saat seseorang hendak bersafar ke tempat yang jauh, beragam persiapan akan dilakukan supaya sampai ke tempat tujuan dengan selamat tanpa banyak kendala. Mulai dari persiapan fisik, kendaraan, perbekalan makanan, pakaian, uang, sarana komunikasi, dan persiapan-persiapan yang lainnya. Tak jarang berangkat di malam hari menjadi pilihan, supaya lebih cepat sampai di tujuan.
Berangkat di malam hari memang membuat perjalanan terasa lebih ringan. Hal ini karena cuaca malam yang sejuk, tentu berbeda rasanya dengan safar di kala cuaca panas dan memenatkan. Dengan safar malam, perjalanan akan terasa lebih cepat sampai. Perjalanan terasa baru dimulai, padahal jarak yang ditempuh sudah jauh. Inilah hakikat bumi “terlipat” di malam hari, yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis:
๏ปู๏ป ู๏ปดู๏ปู๏ปขู ๏บู๏บ๏ป๏บชูู๏ปู๏บ ู๏บู ๏ปู๏บู๏ปฅูู ๏บ๏ปทู๏บญู๏บฝู ๏บู๏ปู๏ปฎู๏ปฏ ๏บู๏บ๏ป๏ป ูู๏ปดู๏ปู
“Hendaklah kalian bepergian pada waktu duljah (akhir malam), karena bumi itu (seolah-olah) terlipat pada waktu malam.”[1]
Perintah ini tidak menunjukkan wajib, tapi salah satu pilihan yang dianjurkan bagi orang yang mau mendapat kemudahan dalam safar malam karena beragam faedah di dalamnya. Jangan sampai konsentrasi kita hanya pada perjalanan siang saja. Apalagi saat mengetahui adanya hadits di atas, pahala Allah menanti saat kita tak abai menghadirkan niat menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Memang sewajarnya seorang musafir biasa memilih waktu-waktu trengginas untuk safar, seperti waktu pagi, sore, atau akhir malam untuk meringankan sebuah perjalanan. Karena pada dasarnya safar itu identik dengan kesulitan dan kelelahan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
๏บ๏ป๏บดูู๏ปู๏บฎู ๏ปู๏ปู๏ปู๏บู ๏ปฃู๏ปฆู ๏บ๏ปู๏ปู๏บฌู๏บ๏บู
“Safar itu bagian dari azab.”[2]
Safar Panjang Perjalanan Akhirat
Sebagaimana disinggung di atas, dalam setiap safar sangat penting memaksimalkan waktu-waktu trengginas demi lancarnya sebuah perjalanan. Tak pelak ini berlaku pula untuk perjalanan ke negeri nun jauh di sana, negeri akhirat.
Dalam upaya seseorang memaksimalkan pengamalan agama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendorong untuk tidak berlebihan dan tidak memaksakan diri, yang pada gilirannya akan menyebabkan seseorang cepat bosan dan berhenti sama sekali. Namun lakukanlah secara perlahan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas diri, juga memanfaatkan waktu-waktu trengginas seperti para musafir yang mulai bergerak di waktu-waktu tersebut. Beliau bersabda:
ุฅููู ุงูุฏููููู ููุณูุฑูุ ููููู ููุดูุงุฏูู ุงูุฏููููู ุฃุญูุฏู ุฅูููุง ุบูููุจูููุ ููุณูุฏููุฏููุง ูููุงุฑูุจููุงุ ูุฃูุจูุดูุฑููุงุ ูุงุณูุชูุนูููููุง ุจุงูุบูุฏูููุฉู ูุงูุฑููููุญูุฉู ูุดูุกู ู ููู ุงูุฏููููุฌูุฉู
โSesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang mempersulit agama ini melainkan dia akan dikalahkannya. Maka beramallah dengan tepat (tanpa berlebihan), lakukanlah yang mendekatinya (bila tidak bisa sempurna), dan bergembiralah, serta manfaatkanlah waktu pagi, sore, dan akhir malam.” [3]
Perjalanan akhirat adalah safar yang hakiki, ia bukan safar biasa, ia adalah satu-satunya safar yang tidak mungkin lagi bagi seseorang kembali darinya. Maka orang beriman yang menyadari hal ini senantiasa berbenah dan berkemas, tak ingin kelak menjadi pesakitan di perjalanan yang tiada berujung itu.
Saat Al-Asytar datang ke rumah Ali bin Abi Thalib di malam yang hening, ia dapati Ali tengah shalat malam, maka Al-Asytar berkata, “Wahai Amirul Mukmin, siang hari kau berpuasa, malam harinya kau begadang seperti ini, dan di sela-sela itu semua kau pun sangat lelah (mengurus umat).”
Begitu selesai dari shalatnya, Ali pun menjawab Al-Asytar, “Perjalanan akhirat itu sangatlah panjang, perlu bergerak sejak malam untuk menempuhnya, yaitu berangkat sebelum fajar.”
Seorang wanita salaf, istri dari Habib bin Muhammad Al-Farisi, berkata saat ia membangunkan sang suami di malam hari, “Bangunlah suamiku, jarak tempuh begitu jauh, sedangkan bekal kita baru sedikit. Rombongan orang-orang saleh telah berangkat lebih dahulu, sedangkan kita masih tertinggal di sini!”[4]
Ya, kita masih tertinggal di sini!! Hiks…
[1] HR. Abu Dawud dan Al-Hakim
[2] HR. Bukhari
[3] HR. Bukhari
[4] Lihat kisahnya di Kitab Al-Mahajjah fi Sairi ad-Duljah hlm. 421