Adakah Dua Sahabat yang Sedekat Ini?
Ditulis Oleh: Didik Gelar Permana
Syekh Abbas Batawi, seorang yang mengabdikan diri untuk menjadi pengurus jenazah setelah sebelumnya berhenti dari pekerjaannya di maskapai penerbangan Saudi Arabia. Ia bernazar kepada Allah, jika ia mendapatkan jalan keluar dari masalah besar yang menimpanya, ia akan menjadi relawan amal kebaikan. Ternyata benar, Allah berikan jalan keluar dari masalahnya. Ia tunaikan nazarnya dengan menjadi pengurus jenazah untuk masyarakat Jeddah dan sekitarnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Pria kelahiran Jeddah tahun 1959 ini sering mengajak anak-anaknya untuk ikut dalam kegiatan mengurus jenazah, tujuannya agar mereka mengambil pelajaran dan sering mengingat akhirat. Penulis ingat perkataan Imam al-Muzani, murid dari Imam Syafi’i yang juga sering memandikan jenazah, beliau menuturkan:
تَعَانَيْتُ غَسْلَ الْمَوْتَى لِيَرِقَّ قَلْبِيْ
“Senantiasa saya menghayati dan berusaha untuk tidak tergesa-gesa dalam memandikan jenazah, agar hati ini menjadi lembut.”[1]. Memang, mengingat kematian merupakan cara termanjur untuk mengingatkan jiwa yang penuh dengan dosa agar berhenti dari kegiatan dosanya. Juga menjadi pembakar semangat bagi orang-orang yang sudah terbiasa melakukan amal kebaikan.
Sekitar bulan Februari tahun 2015, Syekh Abbas rahimahullaah wafat dengan mendapatkan gelar “mukrimul amwaat” (orang yang memuliakan mayit) karena perhatian besar beliau terhadap amaliyah jenazah selama berpuluh-puluh tahun, terutama untuk masyarakat Makkah dan Jeddah. Sekitar satu bulan sebelum beliau wafat, beliau menyampaikan nasihat yang sangat berharga dengan berdiri di atas lubang kuburan.[2]
Pada tulisan ini, penulis akan menyebutkan satu kisah yang penulis dengar dari beliau berdasarkan pengalaman pribadinya dalam mengurus jenazah. Suatu hari, ketika beliau berada di kantor pengurusan jenazah dan merapikan file hariannya, datang seseorang menyampaikan bahwa ada jenazah yang harus diurus. Maka beliau meminta agar jenazahnya dimasukkan ke ruang pemandian, sementara beliau akan mengganti pakaiannya terlebih dahulu dan bersiap-siap. Ketika beliau memasuki ruangan pemandian, beliau perhatikan ada seorang pemuda yang mengusir semua orang yang ada di sana, termasuk Ayah dan saudara kandungnya. “Barrah..barrah..” Bahasa Arab ‘aamiyah yang artinya adalah di luar atau keluar. Syekh Abbas pun heran. Seandainya Syekh tidak memakai pakaian khusus untuk mengurus jenazah mungkin sudah ia usir juga.
Syekh Abbas menyampaikan kepada pemuda itu bahwa beliau butuh kepada satu atau dua orang yang bisa membantu beliau dalam proses pengurusan jenazah. Kata pemuda itu “Cukup dengan saya saja, Syekh”. Maka, beliau pun memulai pengurusannya dengan membuka kain penutup dengan memulai bagian kanannya, sampai ketika wajahnya mulai terbuka pemuda ini tiba-tiba berteriak dengan suara keras. Syekh Abbas heran dan mengatakan “Wahai saudaraku, jika anda tidak kuat, maka silakan tunggu di luar dan biar yang lain saja yang membantuku.” Pemuda itu menjawab, “Tidak Syekh, biar saya saja”. Syekh menjelaskan bahwa mengurus jenazah perlu kepada konsentrasi, dengan berteriak seperti itu akan sangat mengganggu konsentrasi beliau. Pemuda itu mengangguk dan mengatakan “Baik”. Setelah beliau melepaskan pakaiannya, dan mulai menekan perutnya dengan lembut untuk mengeluarkan kotoran yang sudah siap keluar, tiba-tiba pemuda itu berteriak lagi. Beliau berteriak lagi dan menangis histeris. Syekh pun marah dan mengatakan “Silakan Anda keluar sekarang, segera keluar!” Pemuda itu tetap menjawab “Saya tidak akan keluar. Saya akan tetap berada di sini.”
Syekh Abbas pun mulai penasaran akan sebab teriakannya ini dan menanyakan hubungan kekerabatannya dengan sang mayit. Pemuda itu mengatakan “Saya bukan saudaranya, wahai Syekh”. Syekh terheran karena pemuda itu mengusir semua yang ada di ruangan itu sementara ia bukan saudaranya. Pemuda itu menambahkan “Saya lebih dari ayah, ibu dan saudara-saudara kandungnya.” Beliau pun semakin terheran dengan ucapannya ini. Ia tidak mau melihatnya bertambah sedih, sementara jenazah belum selesai diurus. Maka beliau mengatakan “Saya mandikan dulu jenazah ini, Anda bantu saja. Setelah ini tolong beri tahukan siapa Anda sebenarnya dan apa hubungan Anda dengan sang mayit!”.
Setelah proses pemandian, ketika memulai proses pengkafanan, Syekh mulai bertanya kembali “Bagaimana Anda bukan saudaranya, tapi mengusir semua saudaranya dari ruangan ini?” Pemuda ini mengatakan, “Wahai Syekh, pernahkah anda mendapatkan hubungan kedekatan seseorang seperti kami?” Syekh bertanya, “Kedekatan seperti apa?” Pemuda itu menjelaskan, “Saya dan beliau ini (sang mayit) sekolah di SD yang sama, SMP yang sama, SMA yang sama, lulus dari kampus dan universitas yang sama, bekerja di tempat yang sama, kami menikah dengan wanita dari keluarga yang sama (adik kakak), kita sama-sama diberikan anugerah oleh Allah berupa satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Lebih dari itu, kita tinggal di syuqqah (apartemen) yang sama, di satu lantai dan pintu rumah kami saling berhadapan. Sehingga, kami pergi ke masjid bersama, sarapan bersama, dan pergi ke tempat kerja pun bersama. Ini berlanjut sampai menjelang akhir kehidupannya.”
Pemuda ini pun bertanya, “Wahai Syekh, pernahkah anda mendapati dua orang sahabat yang sedekat ini?” Syekh menjawab, “Tidak, demi Allah. Saya sendiri dengan saudara saya hanya bertemu ketika ada acara-acara penting saja.”
Selesailah proses pemandian dan pengkafanan mayit tersebut, kemudian Syekh memberikan nasihat berharga kepada pemuda ini, “Sekarang kita akan bawa ia ke masjid. Dalam salat, doakan ia dengan penuh keikhlasan.” Ia mengatakan, “Baik, Syekh”. Masuklah mereka ke masjid. Jenazah ini disalatkan setelah salat Zuhur di masjid yang memang orang-orang sangat bersemangat untuk ikut menyalatkan dan menguburkan jenazah. Semua yang ikut salat Zuhur di sana, ikut juga menyalatkan dan menguburkan jenazah. Setelah disalatkan, jenazah pemuda ini langsung dibawa ke perkuburan untuk dimakamkan.
Di Saudi Arabia, kuburan benar-benar dijadikan sesuai dengan syariat yaitu tidak disemen atau ditembok dan tidak diberikan nama. Yang ada hanya nomor-nomor di sekitar jalan utamanya (jalan trotoar), satu nomor berisi tiga puluh sampai lima puluh kuburan. Adapun urutan kubur dari setiap barisnya dihafalkan oleh masing-masing keluarga sang mayit, karena memang tidak ada nomornya. Dikuburkanlah pemuda ini di kuburan nomor tujuh, urutannya kesepuluh. Selesailah proses penguburan pemuda ini, Syekh pun kembali ke kantornya dan bertugas seperti biasa.
Di hari berikutnya, Syekh seperti biasa masuk kantor, mencatat hal-hal yang perlu dicatat berkaitan dengan data mayit dan lain-lain. Kemudian Syekh mendapat ada beberapa orang di ruang tunggu. Beliau pun memanggil karyawannya dan bertanya kenapa mereka ada di sini? Ia menjawab, bahwa di dalam ruang pengurusan jenazah ada jenazah yang sudah menunggu. Syekh heran dan bertanya “kenapa kamu tidak mengabarkan dari awal?” Ia menjawab, “Saya melihat Anda sedang sibuk, khawatir mengganggu.” Syekh menjawab, “Baik, mari kita masuk untuk mengurus jenazahnya.”
Masuklah Syekh ke tempat pemandian, didapatilah jenazah yang terbujur kaku di atas roda pemandian. Dan yang membersamai Syekh dalam pengurusan jenazah kali ini adalah ayah dan saudara laki-laki sang mayit. Ketika beliau mulai membuka kain penutup sang mayit dan melihat wajahnya, Syekh mengatakan kepada ayah sang mayit, “Pemuda ini sepertinya tidak asing bagiku.” Tiba-tiba saja sang ayah menangis dan mengatakan, “Haraam ‘alaika yaa Syekh” (jangan seperti itu, Syekh). Wahai Syekh, pemuda ini adalah orang yang membantumu mengurus jenazah kemarin. Ia yang kemarin membawakan gunting dan kapas untukmu.” Syekh pun kaget. Dalam proses pemandian, setiap beliau membolak-balikkan tubuh sang mayit, air mata Syekh terus berjatuhan dari pipi ke dadanya. Bagaimana tidak kaget dan sedih, kemarin ia yang membantunya mengurusi jenazah, sekarang ia sendiri yang wafat. Kematian memang tidak memberikanmu tenggang waktu, datang tiba-tiba dan tidak bisa ditebak.
Setelah selesai pemandian dan pengkafanan jenazah ini, Syekh bertanya kepada ayahnya “Bagaimana ia wafat, padahal kemarin masih bersama kita?” Ayahnya menjawab, “Setelah kemarin menguburkan jenazah temannya, ia berkata kepada istrinya ‘Jangan bangunkan saya untuk makan siang, biarkan saya istirahat dan bangunkan saya di waktu Asar. Setelah salat saya akan menerima takziah atas kematian sahabatku di hari pertama ini.” Di waktu Asar, istrinya mendatangi suaminya yang sedang tertidur berbaring ke sebelah kanan. Ketika hendak dibangunkan, didapati suaminya sudah dalam kondisi wafat tanpa sebab yang tidak diketahui. Syekh bertanya kepada istri dan ayahnya, mereka menjawab “Wafat dengan kesedihan yang mendalam akan kematian sahabatnya.” Setelah disalatkan ia dibawa ke perkuburan, didapati kuburan yang kosong adalah kuburan nomor tujuh, urutan kesebelas. Tepat di sebelah sahabatnya yang baru wafat kemarin. Hidup bersama dan wafat dalam waktu yang hampir berbarengan, hanya dibedakan beberapa jam saja.
Pelajaran berharga dari kisah ini adalah bersiap-siaplah dalam menghadapi kematian karena ia datang secara tiba-tiba. Dan carilah sahabat yang bisa mengajakmu kepada kebaikan, karena itulah hakikat persahabatan yang sejati. Allah berfirman:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67). Wallahu a’lam.
[1] Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala jilid 12 hal. 495 terbitan Muassasah Risalah cetakan ketiga.
[2] Video ceramahnya bisa dilihat di link جدة تودّع “عباس بتاوي” أشهر مغسل للأموات (sabq.org)