Anak Perempuan: Amanah yang Sering Dilalaikan
Oleh: Muhammad Ichsan, BA., M.Pd.
Di antara bentuk keadilan Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Ia jadikan jalan menuju surga sama-sama bisa diraih, baik oleh hamba-Nya yang laki-laki maupun yang perempuan. Sebagaimana kaum lelaki bisa masuk surga karena amalan mereka, begitu pun kaum wanita juga bisa meraih surga Allah subhanahu wa ta’ala apabila mereka beramal dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Kemungkinan mereka untuk bisa masuk ke dalam surga dan mendapatkan kemuliaan Allah sama besarnya.
Namun yang menyedihkan, sebagian orang menganggap rendah kaum wanita. Mereka tidak menghargai kemuliaan kaum wanita. Mereka lupa bahwa mereka terlahir dari seorang wanita. Hal ini sebagaimana halnya kebiadaban yang dilakukan orang-orang musyrikin di zaman jahiliah yang sering merendahkan wanita, bahkan apabila istri-istri mereka melahirkan anak perempuan, mereka pun merasa malu. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala kisahkan:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌ
“Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). (QS. An-Nahl:58)
Bukan hanya malu, sebagian kaum musyrikin sampai tega membunuh anak perempuannya tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُىِٕلَتْۖ بِاَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup,(lalu) ditanya, “Karena dosa apa dia dibunuh,” (QS. At-Takwir: 8-9)
Perlakuan mereka sangat bertentangan dengan Islam yang memuliakan anak perempuan. Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha pernah bercerita:
جَاءَتْنِى مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِى كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا فَأَعْجَبَنِى شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِى صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ
“Suatu hari datang kepadaku seorang wanita miskin dengan membawa kedua putrinya untuk meminta sesuatu (yang bisa dimakan). Maka aku pun memberinya tiga butir kurma, dan sang ibu pun memberi kedua putrinya masing-masing satu butir kurma. Dan saat ia hendak memakan sisa butir kurma, ternyata kedua putrinya tersebut memintanya dari sang ibu. Maka ia pun membelah satu butir kurma yang hendak ia makan tersebut menjadi dua lalu memberikannya kepada sang anak. Aku pun takjub melihat pemandangan tersebut. Lalu aku pun menceritakan hal ini kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga bagi sang wanita tersebut (atau membebaskan dirinya dari api neraka) dengan sebab kebaikannya kepada anak perempuannya.”1
Pembaca budiman, hadis di atas sangat jelas menunjukkan kepada kita akan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan di dalam syariat. Islam mendorong pemeluknya agar berbuat baik kepada para wanita, bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan Surah khusus yang berbicara mengenai wanita, yaitu Surah an-Nisa’, ini menunjukkan bentuk pemuliaan Islam terhadap kaum wanita.
Namun sayangnya, hari-hari ini hampir setiap hari kita mendengar dan menyaksikan kemalangan serta kejahatan yang menimpa wanita-wanita muslimah yang kebanyakan mereka semua masih berusia muda. Ada yang dianiaya “pacar” nya, diperkosa bahkan dibunuh. Ini semua adalah suatu bentuk perendahan terhadap harga diri dan martabat para wanita. Baru saja kita dengar musibah erupsi di salah satu gunung berapi di Indonesia di mana cukup banyak korbannya dari kalangan mahasiswi yang mengikuti acara kampusnya dengan mendaki gunung. Padahal keberadaan para wanita di luar sana tentu pasti akan menimbulkan fitnah. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
ما تَرَكْتُ بعدِي فتنةً أضَرَّ على الرجال مِنَ النِّساء
“Tidaklah aku tinggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya daripada fitnah wanita.”2
Belum lagi sifat dasar wanita adalah ingin menjadi pusat perhatian, terkadang mereka mempercantik diri mereka dengan menggunakan parfum untuk keperluan di luar rumah, padahal Nabi shalallahu alaihi wasallam telah mewanti-wanti para wanita:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” 3
Bukan berarti Islam melarang secara mutlak para wanita untuk berwisata mendaki gunung, namun di antara bentuk pemuliaan Islam terhadap para wanita adalah mengharuskan seorang muslimah disertai dengan mahrom mereka. rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
لايحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يومِ إلا مع ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar sejauh perjalanan sehari kecuali bersama mahram-nya.” 4
Dan sebaik-baik tempat bagi para muslimah adalah di rumah mereka.
Disebutkan bahwa istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas menjawab,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).”
Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga ia meninggal dunia.5
Para pembaca budiman, kalau saja di dalam ibadah sekalipun para wanita dimuliakan dengan dianjurkan pelaksanakannya di rumah, agar tidak mengundang fitnah, maka bagaimana lagi jika para wanita berkumpul dengan para lelaki untuk acara yang tidak mendesak? Maka dilandasi rasa keprihatinan, penulis bertanya-tanya, apakah para wanita yang mengumbar pesonanya di luar sana tidak memiliki ayah/wali yang paham betul bagaimana besarnya tanggung jawab seorang ayah bagi anak-anak perempuan mereka?
Semoga tulisan ini membuat para ayah semakin sadar akan betapa besarnya tanggung jawab di dalam menjaga kehormatan anak-anak perempuan mereka.
- Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam bukunya Shahih Muslim No. 2630 jilid 8 pada kitab al-Birru wa ash-Shilatu wa al-Adab , bab “fadhlul Ihsan ila al-Banaat” ↩︎
- HR. Bukhari: 5096, dan Muslim:2740 ↩︎
- HR. An-Nasa’i, No. 5126; Tirmidzi, No. 2786; Ahmad, 4: 413. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Maksudnya wanita semacam itu akan membangkitkan syahwat pria yang mencium bau wanginya. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi, 8: 74) ↩︎
- Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam bukunya Shahih Muslim No. 1339 jilid 4 pada kitab al-Hajj, bab “Safar al-Mar’ati ma’a mahramin ila hajjin wa ghairihi”. ↩︎
- HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan ↩︎