Karya Santri

Merayakan Tahun Baru

Muhammad Altamasy (Santri Kelas 12 Pesantren Al-Ma'tuq)

ORDER

Merayakan Tahun Baru

Penulis: Muhammad Altamasy (Santri Kelas 12 Pesantren Al-Ma’tuq)

Editor: Ali Mukhtar, S.Sos., M.Pd.

Tidak perlu diragukan lagi bahwa kebanyakan dari kita terlalu meremehkan suatu perkara atau hukum dalam agama kita. Seringkali kita hanya memikirkan hawa nafsu kita saja tanpa memikirkan apakah itu termasuk ke dalam hal yang dilarang atau tidak. Selama masih menyenangkan bagi kita maka akan kita lakukan, tidak peduli, tidak takut bahkan menutup kuping akan dosa. Naudzubillahi min dzalik.

Kegiatan merayakan malam tahun baru tidak asing lagi di telinga kita, terlebih bagi anak-anak gen Z yang selalu ingin hits dan selalu ingin mengikuti perkembangan zaman. Namun, tentang perayaan tahun baru, apakah kalian tau ceritanya? Bagaimana asal usulnya? Apakah ada kaitannya dengan agama kita? Jika iya maka apa hukumnya? Atau jangan-jangan keikutsertaan kita dalam perayaan tahun baru hanya untuk menuruti nafsu saja? Untuk keperluan status Instagram, ikut trend agar disebut si paling mengikuti perkembangan zaman?

Asal mula perayaan tahun baru masehi dapat ditelusuri hingga peradaban kuno Romawi yang dikenal sebagai masyarakat pagan atau pemuja berhala, serta komunitas Zoroastrianisme yang menyembah dewa. Diketahui bahwa sebelum menggunakan penanggalan Masehi, bangsa Romawi kuno mengadopsi kalender mereka sendiri sebagai acuan waktu pada masa itu. Namun, setelelah Julius Cesar menjadi kaisar Roma, dia memutuskan untuk menggantikan kalender tradisional Romawi yang sudah ada sejak abad ke-7 SM dengan kalender Julian atau Masehi.

Awalnya, kalender Julian atau Masehi hanya digunakan oleh bangsa Romawi kuno. Namun, setelah Kekristenan menjadi agama resmi di kekaisaran Romawi kuno pada tahun 312 M, sistem penanggalannya mengikuti kalender Julian. Tahun kelahiran Yesus Kristus dijadikan tahun pertama Masehi. Begitu pula dengan bangsa Yahudi pasca Yerussalam jatuh ke tangan Romawi pada tahun 63 SM, penanggalan Yahudi digantikan oleh penanggalan Masehi.

Sampai sini mari kembali ke pertanyaan di atas: apakah ini semua ada hubungannya dengan Islam? check it out!!!! Dalam tradisi Perjanjian Lama, ada perintah untuk โ€œMaka tiuplah terompet-terompet untuk merayakan tahun baruโ€. Maka bisa dilihat dari sejarahnnya bahwa perayaan tahun baru pertama kali dirayakan oleh orang kafir. Itu berarti sangat jelas sekali ini bukan tradisi atau perayaan orang Islam. Itu juga berarti kita meniru-niru orang kafir dan hal ini dinamakan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, karena pada perayaan tahun baru orang-orang meniup terompet dan membunyikan lonceng yang merupakan syiar Yahudi dan Nasrani. Rasulullah ๏ทบ bersabda:

ู…ูŽู†ู’ ุชูŽุดูŽุจูŽู‘ู‡ูŽ ุจูู‚ูŽูˆู’ู…ู ููŽู‡ููˆูŽ ู…ูู†ู’ู‡ูู…ู’

โ€œBarang siapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebutโ€.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 240949 menyatakan bahwa ikut serta dalam merayakan tahun baru ini adalah suatu kemungkaran yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim. Karena sudah diketahui bersama bahwa kaum muslimin hanya memiliki dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, juga hari besar pekanan yaitu hari Jumat. Maka meniru-niru perayaan non-muslim tidaklah keluar dari dua perkara:

1. Bidโ€™ah, jika perayaan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti perayaan Maulid Nabi.

2. Tasyabbuh dengan orang kafir (menyerupai orang kafir), jika perayaan yang dilakukan sebagai bentuk mengikuti adat (kebiasaan), bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Merayakan tahun baru menjadi tanda kerusakan akhlak di seluruh dunia umat Islam, mereka berfoya-foya dengan duitnya, mabuk-mabukan, bahkan ada yang janjian dari jauh-jauh hari dengan pasangannya yang tidak sah, melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Padahal dalam konteks tasyabbuh ini, Nabi sampai pernah menyuruh seseorang pada zamannya untuk mengubah gaya rambut karena menyerupai orang kafir. Begitu bahayanya tasyabbuh.

Jadi sudah jelas dari pembahasan di atas bahwa hukum merayakan tahun baru adalah haram. Lalu, kenapa kita merasa harus tetap merayakannya? Apakah dengan tidak merayakannya akan membuat kita buta mata atau cacat fisik? Pastinya tidak. Karena semua hanya untuk kesenangan semata yang tidak ada artinya. Maka berhentilah dari mengikuti perayaan tersebut. Jangan sampai hati kita ditutup oleh Allah Taโ€™ala karena mengikuti atau menikmati perayaan ini semua. Lebih baik kita muhasabah diri untuk menjadi lebih baik di malam tahun baru. Jikalau tidak bisa, maka tidur adalah jalan solusinya, agar tidur kita berpahala karena kita menahan diri dari suatu kemungkaran. Simpelnya, ketika kita sudah tau bahwa perayaan tahun baru tidak benar dan tidak bisa dibenarkan, maka jangan sampai  masih saja kita lakukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button