Fatwa Hukum Jual Beli dan Donor Ginjal
Ditulis oleh: Didik Gelar Permana
Baru-baru ini ramai tersebar berita seorang calon anggota DPRD di salah satu kabupaten di Jawa Timur yang ingin menjual ginjalnya sebagai modal kampanye. Bagaimana sebenarnya para ulama memandang hukum jual beli ginjal? Berikut fatwa mereka terkait hal ini:
1. Fatwa Syekh Sholeh al-Fauzan
Pertanyaan:
Di antara keluarga kami ada yang divonis sakit ginjal oleh dokter dan harus melakukan prosedur pencangkokan ginjal. Sementara ada orang yang siap menjual ginjalnya dengan harga 50 ribu rial. Apakah boleh kami membelinya?
Jawaban:
Boleh dilakukan pencangkokan ginjal bagi orang yang sangat membutuhkan jika hal itu memungkinkan dengan cara yang diperbolehkan. Namun, tidak boleh seseorang menjual ginjalnya atau menjual salah satu anggota tubuhnya yang lain karena adanya ancaman keras bagi orang yang menjual orang yang merdeka kemudian ia memanfaatkan hasil penjualannya. Menjual anggota tubuh masuk ke larangan ini karena sejatinya manusia tidak memiliki tubuhnya sendiri secara utuh ataupun hanya sebagian anggota tubuhnya. Di samping itu, juga untuk menutup celah orang-orang yang ingin menjadikan anggota tubuh sebagai objek jual beli, selain untuk menutup celah terjadinya kezaliman terhadap orang-orang yang lemah dan penculikan manusia karena menginginkan hasil penjualan ginjalnya. Inilah yang nampak bagiku sekarang terkait hukum menjual ginjal.[1]
2. Fatwa al-Lajnah al-Daa`imah
Pertanyaan:
“Qadarullah Allah Ta’ala menakdirkanku tertimpa penyakit yang cukup serius yaitu kanker -semoga Allah Ta’ala menjaga Anda dari penyakit ini-. Saya menderita penyakit ini sejak tahun 1399 H sampai sekarang. Semua rumah sakit di Arab Saudi -baik negeri maupun swasta- telah saya kunjungi dalam rangka menjalani pengobatan. Semua harta yang saya miliki habis untuk biaya pengobatan, sementara belum ada hasil yang terlihat. Kemudian saya mencoba berobat di luar negeri. Atas karunia Allah Ta’ala, ada di antara kaum muslim yang mengutangkan sebagian hartanya untuk biaya pengobatan di luar negeri sehingga inti penyakit dan obatnya pun diketahui. Sekarang, alhamdulillah kondisinya sudah semakin baik. Namun, saya memiliki utang yang yang cukup besar sekitar 500 ribu rial. Sementara saya tidak memiliki harta benda yang bisa saya jual untuk melunasi utang tersebut. Kerabatku pun tidak ada yang bisa membantu. Saya sekarang sangat terdesak dan sedang mencari cara agar segera bisa melunasi hak orang-orang yang mengutangkan hartanya kepada saya.
Pertanyaan: Apakah boleh secara syariat saya menjual sebagian anggota tubuh saya seperti ginjal, kornea mata, atau anggota tubuh lain yang dipandang oleh dokter tidak terlalu berbahaya bagi tubuh jika dipindahkan? Saya ingin menjualnya supaya bisa segera melunasi tanggungan utang yang besar. Saya tidak mengetahui cara lain kecuali cara tersebut. Penghasilan saya setiap bulan sebesar 5300 rial, tidak mencukupi biaya pengobatan. Belum lagi beban biaya hidup keluarga dan sewa rumah. Saya khawatir meninggal dalam menanggung utang. Sementara kebanyakan anggota keluarga saya adalah wanita dan anak-anak. Saya sangat mengharapkan jawabannya karena saya ingin segera melunasi utang dan hidup tenang di dunia sebelum datangnya hari perhitungan amal. Jazaakumullahu khairan.
Jawaban:
Tidak boleh Anda menjual salah satu anggota tubuh Anda untuk tujuan melunasi utang Anda atau untuk tujuan lainnya. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita. [2]
Fatwa ini ditandatangani oleh Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua komisi dewan fatwa dan Syekh Abdul Razzaq ‘Afifi dan Abdullah Ghudayyan sebagai anggota dewan fatwa.
3. Fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami (Divisi Fikih OKI)
Pada poin ketujuh disebutkan: “Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun membelanjakan uang untuk mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhkan saat darurat, hal itu masih perlu pembahasan dan kajian lebih lanjut.”[3]
4. Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengenai hukum donor ginjal
Pertanyaan:
Terkadang kami (para dokter) diminta oleh pihak keluarga orang yang meninggal sebab penyakit kanker otak untuk mengambil sebagian anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain. Apakah perbuatan seperti ini diperbolehkan?
Jawaban:
Perbuatan ini terlarang. Allah Ta’ala menjadikan tubuh manusia sebagai amanah. Allah Ta’ala berfirman
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS Al-Nisa: 29)
Tidak ada bedanya antara dilakukan ketika hidup atau setelah wafat. Baik ketika masih hidup maupun setelah wafat (dengan wasiat, pen), tidak boleh ia menyumbangkan anggota tubuhnya kepada orang lain. Demikian juga anggota keluarga, tidak bisa menyumbangkan anggota tubuhnya karena sejatinya mereka hanya mewarisi harta. Adapun anggota tubuhnya tidak boleh diganggu. Walaupun ia telah mengizinkan keluarganya untuk mengambilnya, hukumnya tetap tidak diperbolehkan. Bahkan para ulama menjelaskan dalam kitab al-Janaiz: Tidak boleh mengambil anggota tubuhnya, sekalipun ia telah berwasiat ketika hidupnya, sebab tubuh manusia merupakan amanah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda
كَسْرِ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Mematahkan tulang mayat sama hukumnya dengan mematahkan tulang orang yang hidup.”
Ketika orang yang masih hidup tidak boleh dipatahkan tulangnya, begitu juga dengan orang yang sudah wafat.Betapa banyak kerusakan yang disebabkan hal ini. Kita mendengar di sebagian negara, ada anak-anak yang diculik di pasar-pasar untuk dibunuh dan diambil hati dan ginjalnya kemudian dijual. Sangat tragis. Oleh karena itu kami berpandangan bahwa hal ini terlarang, sekalipun ada wasiat dari si mayit. Jika tanpa wasiat, tentu keharamannya lebih besar lagi.
Orang yang hidup pun sama hukumnya, tidak boleh menyumbangkan anggota tubuhnya. Jika anak, saudara, atau saudari Anda membutuhkan ginjal maka tidak boleh Anda menyumbangkan ginjal untuknya. Ini diharamkan karena dua sebab:
Pertama, pemindahan ginjal dari satu tubuh ke tubuh lain bisa berhasil dan bisa gagal. Walaupun kemungkinan berhasilnya lebih besar, kemungkinan gagalnya tetap ada. Dalam hal ini terdapat mafsadat yaitu memindahkan ginjal dari tempat yang telah Allah Ta’ala tetapkan ke tempat lain yang prosesnya bisa berhasil, bisa juga gagal. Jika perkiraan gagalnya lebih besar, tentu mafsadatnya lebih besar lagi.
Kedua, apakah Anda yakin ketika salah satu ginjal dipindahkan, ginjal yang lain akan terus bekerja dengan baik sampai Anda wafat? Tentu tidak. Sangat besar kemungkinannya ginjal yang satunya menjadi bermasalah karena ginjal yang lain telah dikeluarkan. Jika ginjal Anda sakit, tidak ada lagi penggantinya dan Anda menjadi sebab terbunuhnya diri Anda sendiri. Oleh karena itu, tidak boleh menyumbangkan hati, ginjal, atau tulang dari tubuh seseorang walaupun setelah ia wafat.
Baik, kalau ada yang bertanya “Bagaimana dengan darah?” Darah tidak mengapa didonorkan jika dibutuhkan selama tidak membahayakan orang yang berdonor. Hukumnya berbeda karena darah memiliki pengganti. Ketika darah didonorkan, maka tubuh akan segera memproduksi darah yang baru. Berbeda halnya dengan anggota tubuh yang telah disebutkan, ketika didonorkan anggota tersebut tidak akan diproduksi ulang oleh tubuh. [4]
Demikianlah fatwa beberapa ulama terkait jual beli ginjal dan donor ginjal. Simpulannya bahwa hukum menjual ginjal seperti yang dilakukan oleh calon anggota DPRD berdasarkan fatwa para ulama di atas adalah haram. Wallahu a’lam.
[1] Fatwa ini dinukilkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam website resminya https://islamqa.info/ar/answers/97254. Beliau nukil fatwa ini dari al-Muntaqaa min Fataawaa Shalih al-Fauzan Jilid 3 hal. 62.
[2] Fataawaa al-Lajnah al-Daa`imah al-Majmu’ah al-Uulaa Jilid 25 hal. 116 yang dikumpulkan oleh Ahmad bin Abdurrazzaq al-Duwaisy cetakan Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftaa` Riyadh.
[3] Majallah al-Majma’ al-Fiqh al-Islami Jilid 4 hal. 2070 dan dinukilkan juga oleh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab Fiqh al-Islamy wa adillatuhu Jilid 7 hal. 5125.
[4] Fatwa ini diterjemahkan dari website resmi Syekh al-Utsaimin di https://binothaimeen.net/content/1144