“Haramkah Musik?“
Khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Didik Gelar Permana
di Masjid Jami’ Pesantren Al-Ma’tuq Sukabumi
Jumat, 17 Syawal 1445 H / 26 April 2024
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، ونعوذُ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، ومِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يٰاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِه وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهُدَى هدى مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عليهِ وَسلَّم، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، فإنَّ كلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Akhir-akhir ini, dunia media sosial di Indonesia diramaikan dengan pernyataan seorang da’i yang mengeluarkan statement yang cukup aneh lagi nyeleneh. Dalam ceramahnya ia mengatakan bahwa di dalam Al-Quran terdapat surah yang dinamakan surah para pemusik. Bahkan, dengan yakinnya ia mengatakan bahwa ada seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu yang diangkat menjadi Syaa’ir an-Nabiy yang beliau terjemahkan dengan pemusiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para jemaah sekalian yang dirahmati Allah Ta’ala.
Mengenai hukum musik, sudah menjadi hal jelas dalam agama kita. Di beberapa ayat Al-Quran, Allah Ta’ala telah menegaskan akan haramnya musik. Di antaranya, ayat yang terdapat di surah Luqman ayat 6 Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشتَرِي لَهْوَ الحَديثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيرِ عِلمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُم عَذَابٌ مُهين
Di antara manusia ada orang yang membeli ucapan sia-sia untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Kalau kita buka kitab tafsir, di antaranya Tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh ulama bermazhab syafi’i yang telah diakui keilmuannya oleh umat Islam -terutama yang berada di Indonesia- beliau menukilkan ucapan para sahabat dan tabi’in mengenai maksud dari lahwal hadits (ucapan yang sia-sia) dalam ayat ini. Di antara ucapan sahabat yang beliau nukilkan: ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
هُوَ وَاللَّهِ الْغِنَاءُ
“Demi Allah yang dimaksud adalah nyanyian.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/330)
Dalam riwayat lain ia mengatakan,
الغناء والله الذي لا إله إلا هو
“Maksudnya adalah nyanyian, Demi Allah Zat yang tidak ada tuhan yang berhak diibadati kecuali Dia.” Beliau ulangi ucapan ini tiga kali. (Tafsir Ibnu Katsir: 6/330)
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma seorang sahabat yang pernah didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللهم فقه في الدين وعلمه التأويل
“Ya Allah, pahamkan ia terhadap agama dan ajarkan ia tafsir.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/11)
Doa Nabi ini dikabulkan sehingga beliau menjadi ahli tafsir dan dikenal dengan turjumaanul qur’an (orang yang sangat paham terhadap Al-Qur’an). Beliau mengatakan hal yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengenai ayat di atas,
هو الغناء
“Yang dimaksud adalah nyanyian.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/331)
Menariknya, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari penafsiran ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini. Maka bisa dikatakan telah terjadi ijma’ sukuti dalam penafsiran ayat ini bahwa yang dimaksud adalah nyanyian.
Lebih jelas lagi, al-Hasan al-Bashri rahimahullah -salah seorang ulama dari kalangan tabi’in- mengatakan,
أُنْزِلَتْ هذه الآية فِي الْغِنَاءِ وَالْمَزَامِيرِ
“Ayat ini turun berkenaan dengan nyanyian dan seruling.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/331) Seruling merupakan salah satu dari alat musik yang sudah ada sejak zaman dulu.
Ayat yang kedua yang menerangkan akan haramnya musik, dalam surah Al-Isra’ ayat 64 Allah Ta’ala berfirman,
وَاستَفزِرْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنهُم بِصَوتِكَ
Dia (Allah) berfirman, “Perdayakanlah siapa saja di antara mereka yang engkau (Iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau).”
Imam Mujahid rahimahullah mengomentari maksud dari bishautika (dengan suaramu),
بِاللَّهْوِ وَالْغِنَاءِ
“Dengan hal yang melalaikan dan nyanyian.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/93)
Ayat yang ketiga yang menunjukkan akan haramnya musik, di surah An-Najm ayat 61 Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنتُم سَامِدُوْنَ
“Sedangkan kamu lengah (darinya).” (Tafsir Ibnu Katsir: 7/468)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah menukilkan dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan samiduun dalam ayat ini adalah dalam kondisi bernyanyi.
Ayat keempat yang mengharamkan musik, dalam surah Al-Furqan ayat 72 Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزّورَ وَإِذا مَرّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِراما
“Orang-orang yang tidak menyaksikan ‘al-Zuur’ serta apabila mereka berpapasan dengan hal yang sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.”
Ditafsirkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah rahimahullah,
هُوَ اللَّهْوُ وَالْغِنَاءُ.
“(yang dimaksud) adalah hal yang melalaikan dan nyanyian.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/130)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui hadits-haditsnya menjelaskan akan keharaman musik. Belasan hadits yang menerangkan akan hal ini. Di antaranya dalam Shahih al-Bukhari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ. (رواه البخاري)
“Akan datang kaum dari umatku kelak yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan ma’azif (alat musik)”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam Sunan Ibnu Majah,
ليَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ، يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الْأَرْضَ، وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh, akan ada dari umatku orang-orang yang meminum khamr. Mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.”
Para ulama pun telah bersepakat akan haramnya musik. Di antara mereka yang menukilkan ijma’ haramnya musik:
1. Imam Nawawi rahimahullahu dalam kitab Raudhat al-Thalibin (11/228) menjelaskan,
الْمِزْمَارُ الْعِرَاقِيُّ وَمَا يَضْرِبُ بِهِ الْأَوْتَارَ حَرَامٌ بِلَا خِلَافٌ
““Seruling Iraqi dan semua alat musik bersenar hukumnya haram tanpa ada perselisihan.”
2. Demikian juga Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Fathul Bari (8/436) mengatakan,
وأما استماع آلات الملاهي المطربة المتلقاة من وضع الأعاجم، فمحرم، مجمع على تحريمه ولا يعلم عن أحد منهم رخصة في شيء من ذلك، ومن نقل الرخصة فيه عن الإمام يعتد به فقد كذب وافتری
“Adapun mendengar musik maka hukumnya haram. Hal ini telah disepakati keharamannya. Tidak diketahui ada seorang pun ulama memberikan keringanan akan haramnya musik. Siapa saja yang menukilkan keringanan dalam hal ini dari seorang ulama yang diakui keilmuannya, maka ia telah berucap dengan dusta dan melakukan penipuan”
Selain ayat, hadits dan ijma’ tadi, para ulama salaf juga telah menegaskan akan haramnya musik ini. Di antaranya:
1. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman.” (Tafsir al-Baghawi: 3/459)
Beliau juga mengatakan,
الغنًاءُ خِطبةُ الزِّنا
“Nyanyian itu adalah pengantar menuju perzinaan.” (Tafsir Ibnu Rajab al-Hanbaly: 2/321)
2. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau melihat sebagian jema’ah umrah bernyanyi, beliau tegur mereka dan mengatakan,
ألَا لَا سَمِعَ اللَّهُ لَكُمْ، أَلَا لَا سَمِعَ اللَّهُ لَكُمْ
“Ketahuilah, semoga Allah tidak mengabulkan doa-doa kalian. Semoga Allah tidak mengabulkan doa-doa kalian.” (Kitab Dzamm al-Malahy karya Ibnu Abi al-Dunya hal. 48)
3. Imam Syafi’i rahimahullah seorang ulama terkemuka dan sangat dikenal di Indonesia yang mayoritas penduduknya mengaku bermazhab syafi’i, beliau mengatakan, “Siapa saja yang merusak alat musik maka ia tidak perlu mengganti rugi.” Beliau juga mengatakan,
وَلَا يُقْطَعُ فِي ثَمَنِ الطُّنْبُورِ وَلَا الْمِزْمَارِ
“Barang siapa yang mencuri alat musik, maka tidak perlu dipotong tangannya.” (Kitab Al-Umm: 6/159)
4. Demikian juga Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menjelaskan,
حب الكتاب وحب الألحان والغناء في قلب العبد ليس يجتمعان
“Cinta kepada Al-Qur’an dan cinta kepada musik dan nyanyian merupakan dua hal yang tidak akan berkumpul pada diri seorang hamba.” (Kitab Taudhih al-Maqashid Syarh Nuniyah: 2/521)
Semua penjelasan ini menunjukkan kepada kita bahwa keharaman musik ini jelas dan tidak ada kesamaran lagi.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ والسُّنَّةِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحِكِمَةِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم
KHUTBAH KEDUA
Para jemaah shalat Jum’at yang Allah Ta’ala muliakan. Terkadang kita temukan sebagian orang yang menghalalkan musik dengan mengemukakan berbagai macam alasan. Di antara alasan yang biasa mereka lontarkan:
1. Hadits riwayat al-Bukhari yang bunyinya “Layakuunanna min ummati…” statusnya mu’allaq dan tidak bisa dijadikan dalil karena sanadnya terputus. Kita jawab, bahwa hadits ini mu’allaq dalam Shahih al-Bukhari namun diriwayatkan dengan shighah jazm (kata aktif). Para ulama hadits menjelaskan bahwa hadits ini masih tersambung sanadnya di riwayat lain dan statusnya shahih.
2. “Hukum musik itu seperti hukum pisau dan benda tajam lainnya. Halal jika digunakan untuk yang bermanfaat.” Kita jawab, bahwa pisau itu hukum asal dan zatnya adalah halal. Adapun musik, maka hukum asalnya memang sudah haram. Maka analogi ini adalah analogi yang rusak.
3. “Musik itu mendatangkan kenikmatan dan manfaat.” Kita jawab, tidak semua yang nikmat dan bermanfaat lantas menjadi halal dalam syariat. Bukankah khamr itu Allah Ta’ala jelaskan memiliki manfaat. Namun, tetap Allah Ta’ala haramkan.
4. “Banyak orang bertaubat dan hijrah dari maksiat karena musik.” Kita jawab, ketika Allah Ta’ala menakdirkan sebagian orang mendapatkan hidayah dengan hal yang haram, tidak menunjukkan bahwa yang haram itu menjadi halal. Demikian juga, berkaitan dengan ibadah itu harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Tidak pernah kita dapati para sahabat seperti Abu Bakar al-Shidiq radhiyallahu ‘anhu dan sahabat yang lainnya mereka berdakwah dengan musik. Hal ini menunjukkan bahwa berdakwah dengan musik itu adalah sesuatu yang diada-adakan dalam syariat. Sementara Allah Ta’ala berfirman,
اليَومَ أَكْمَلْتُ لَكُم دينَكُم وَأَتمَمتُ عَلَيكُم نِعمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسلَامَ دِينًا فَمَنِ اصْطَرَّ فِي مَحْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجانِفٍ لِإِثمِ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS Al-Ma’idah: 3)
Imam Malik rahimahullah mengatakan,
فمن لم يكن يومئذ دينا فلن يكون الْيَوْمَ دينا
“Segala hal yang bukan bagian dari agama di masa sahabat, maka tidak akan pernah menjadi bagian dari agama untuk hari ini (dan seterusnya).” (Muqaddimah al-Ihkam karya Ibnu Hazm: 6/224)
5. “Bukankah ada perbedaan pendapat para ulama terkait hal ini? Bukankah ada ulama yang membolehkan?” Kita jawab bahwa adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tidak bisa dijadikan dalil. Kita ketahui dalam pembahasan usul fikih apa saja yang bisa kita jadikan dalil. Ada juga yang mengatakan, “bukankah Ibnu Hazm rahimahullah menghalalkan musik?” Kita jawab, pendapat Ibnu Hazm ini -jika memang beliau berpendapat demikian- itu baru ada jauh setelah terjadinya kesepakatan ulama berkaitan dengan hal ini. Maka, khilaf dalam hal ini dinilai syadz dan tidak muktabar.
6. “Bukankah di Saudi ada musik?” Kita jawab, tidak semua yang terjadi di negara Saudi Arabia menunjukkan akan halalnya hal tersebut. Terkadang kita dapatkan adanya hal yang terlarang diizinkan oleh negara Saudi dan para ulama telah mengingkarinya. Maka, yang haram tetaplah haram walaupun kebanyakan manusia melakukannya. Sekali lagi yang menjadi patokan kita dalam beragama adalah dalil.
Para jemaah shalat Jum’at yang dimuliakan Allah Ta’ala.
Pemahaman aneh lagi nyeleneh dari sang da’i ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak setiap orang yang berbicara tentang agama bisa diambil ilmunya. Walaupun ia terlihat cerdas, hafal Al-Quran dan hafal hadits. Apalah artinya ini semua jika manhaj beragamanya menyimpang. Para ulama di antaranya Muhammad bin Sirin rahimahullah menasehatkan,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu (syariat) ini adalah bagian dari agama. Maka, perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama ini.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Kitab Shahih Muslim: 1/11)
Inti kesalahan sang da’i: tidak bisa membedakan antara syair yang hukum asalnya halal dengan musik yang hukumnya haram. Sebabnya karena menafsirkan Al-Quran berdasarkan logika dan tidak berlandaskan kepada pemahaman para sahabat. Apa yang disampaikan dalam khutbah ini murni min bab an-nashihah atas kesalahan yang telah tersebar, bukan karena kebencian kepada sang da’i. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada beliau dan kita semua. Mudah-mudahan apa yang disampaikan pada khutbah kali ini menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi kita.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَۖ اِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
رَبَّنَا آتِنَا فِيْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
سُبْحٰنَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَۚ وَسَلٰمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَۚ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ