Gelar Haji di Indonesia
M. Rusli Agustian
Dalam budaya masyarakat kita, pemberian gelar merupakan bentuk penghormatan yang diberikan pada seseorang yang telah melewati fase tertentu dalam periode kehidupannya, bisa dari jalur pendidikan misalnya gelar sarjana atau karena jabatan yang dimilikinya, seperti ketua adat atau kepala suku tertentu.
Salah satu gelar yang melekat dalam masyarakat kita adalah “Haji”. Gelar ini khusus diberikan kepada orang yang telah atau pernah melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Tentunya tidak sembarang orang bisa mendapat gelar ini, wajar jika gelar “Haji” mendatangkan prestise dan kebanggan tersendiri bagi penyandangnya. Biaya yang mahal juga kemampuan fisik yang harus prima beserta tantangan-tantangan lain selama pelaksanaannya seakan merupakan harga yang harus dibayar untuk gelar tersebut. Oleh karena itulah maka gelar ini mendapatkan tempat khusus dalam strata masyarakat kita dan biasanya hanya dari kalangan atas saja yang memiliki gelar ini.
Darimana Asal Mula Gelar Haji?
Mengenai pemberian gelar haji, ada yang menyebutkan bahwa hal tersebut tidak lepas dari kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda pada aktifitas-aktifitas secara politik maupun organisasi dari para jemaah yang baru pulang melaksanakan ibadah haji. Sebabnya, pelaksanaan ritual ibadah haji di mana seluruh bangsa dari berbagai ras manusia berkumpul di tanah suci telah menumbuhkan rasa kesadaran tentang nasionalisme, persamaan hak asasi manusia dan juga antikolonialisme, sehingga ketika mereka pulang kembali ke tanah air, berbekal pengalaman yang mereka dapatkan disana, para “haji” menularkan kembali kesadaran itu kepada masyarakat umum. Masyarakat kemudian berkesimpulan bahwa para “haji” tersebut telah mengalami transformasi baik dari segi pengetahuan agamanya, keshalehan pribadi ataupun wawasannya tentang dunia luar.
Fenomena ini tentunya mendatangkan “kerepotan” tersendiri bagi pemerintah kolonial Belanda. Kebangkitan kesadaran rakyat terutama tentang nasionalisme dan antikolonialisme adalah sesuatu yang tabu dan diharamkan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terkait dengan dominasi kekuasaan mereka di tanah jajahan. Oleh karena itu, untuk menyikapinya, dikeluarkanlah sebuah Ordonansi Haji (Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Gubernur Jendral dan Volksraad/Dewan Rakyat) yaitu tahun 1916 yang isinya menyatakan bahwa “setiap orang Hindia Belanda yang pulang dari melaksanakan ibadah haji diberi gelar haji”. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa secara legal formal bahwa pemberian gelar haji secara resmi diberlakukan mulai tahun 1916. Pemberian gelar “Haji” tersebut sebenarnya adalah untuk memudahkan intelijen atau polisi kolonial Belanda untuk memantau, mengawasi dan mengidentifikasi siapa saja para haji yang berpotensi membuat perlawanan dan pemberontakan pada pemerintah kolonial.
Ordonansi Haji 1916 telah melengkapi semua kekhawatiran kolonial Belanda tentang ibadah haji di Hindia Belanda (sebutan Indonesia zaman dahulu). Tentang urusan haji ini, pemerintah kolonial sendiri berada di simpang jalan antara kemustahilan untuk melarang secara total ibadah yang merupakan rukun Islam ini atau membatasi secara bertahap dan ketat tentang pelaksanaannya, sehingga mulai tahun 1859, pemerintah kolonial secara resmi mengeluarkan aturan-aturan khusus yang intinya adalah mengawasi secara ketat pelaksanaan ibadah ini.