Mengapa Aku Menjadi Guru?
Muhammad Rafiq Hilal, S.Psi.
Perubahan masyarakat sama dengan perubahan kebudayaan, perubahan kebudayaan adalah perubahan peradaban, perubahan peradaban merupakan perubahan dunia. Tak ada yang salah dengan simpulan tersebut, namun inti dari perubahan tersebut bermula dari perubahan mentalitas manusia yang hidup di dunia ini, perubahan pola pikir tanpa pembentukan karakter adalah sebuah keniscayaan. Pembentukan karakter tanpa perubahan mentalitas hanyalah wacana yang mengambang.
Berbicara tentang pembentukan karakter suatu bangsa tentunya ini menjadi renungan bersama. Bila kita amati seiring berkembangnya zaman dan teknologi, tidak sedikit karakter dan perilaku-perilaku para penerus bangsa yang menyimpang dari norma sosial. Hal ini disebabkan, antara lain oleh kurangnya edukasi, kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, serta lingkungan yang tidak kondusif sehingga mendorong anak-anak/remaja untuk keluar dari rambu-rambu norma sosial yang berlaku. Oleh karena itu, tidak sedikit dari Gen milenial, Gen Z dan juga Gen Alpha yang mengalami demoralisasi akhlak/kemerosotan akhlak. Demoralisasi akhlak pada remaja juga bisa disebabkan oleh faktor tontonan, hiburan, dan kecerdasan bermedia sosial yang rendah juga faktor lainnya.
Berdasarkan kegelisahan di atas, maka ada beberapa motivasi yang menjadi sandaran bagi penulis untuk menjadi seorang guru atau tenaga pendidik yang mengemban amanah sebagai eksekutor pembelajaran di kelas dan mencatatkan diri menjadi bagian dari pelaku sejarah pendidikan Indonesia, bukan hanya pengamat apalagi penonton semata. Adapun beberapa motivasi-motivasi tersebut (meminjam istilah Dr. Abdul Munif dalam Transmisi Kebudayaan Timur Tengah Ke Indonesia; Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Bahasa Indonesia 1950-2004), antara lain adalah sebagai berikut:
1. Motif Relijius, sebagai seorang muslim, maka sudah selayaknya setiap insan turut ambil bagian dalam proses amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kompetensi dan performansi yang dimiliki yang tentu dilandasi dengan kemauan dan kemampuan yang seimbang, menjadi seorang guru termasuk salah satu wasilah untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, karena dengan profesi tersebut kita bisa menjadi salah satu aktor dalam mengontrol segala aktivitas manusia (baca; anak didik), baik itu yang berkaitan dengan dimensi sosial, budaya, politik, dan segala aspek kehidupan manusia lainnya.
Agama mengajarkan ummatnya untuk saling mengingatkan, menasihati, mengajarkan dan mengamalkan ilmu (pengetahuan) yang dimilikinya sekecil apa pun yang kita miliki. Dengan menjadi guru, maka kita telah memilih ruang yang cukup leluasa dalam mengajarkan dan mengamalkan ilmu (pengetahuan) yang kita miliki. Jika kelak anak tersebut memiliki pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill), dan sikap (attitude) yang sesuai dengan norma dan tata aturan (hukum positif) yang berlaku di masyarakat, maka kita akan mendapatkan pahala dari-Nya tanpa mengurangi pahala yang didapat oleh anak tersebut. Dan jika kelak anak tersebut berlaku sebaliknya, maka cukuplah bagi kita sebagai penyampai pesan (kebaikan), dan mendapatkan pahala dari-Nya tanpa harus menanggung dosa dari perbuatan (buruk) anak tersebut.
2. Motif Ideologi, motif ini menjadi landasan kedua setelah motif relijius, hal ini berkaitan erat dengan maraknya penyesatan opini terhadap agama (Islam) yang semakin hari semakin mengemuka. Demonologi Islam jilid baru seolah telah menampakkan keangkuhan dengan berusaha membunuh karakter (character assassination) Islam dan kaum muslimin. Dengan menjadi seorang Guru setidaknya kita bisa mem-breakdown pelbagai penyesatan opini terhadap Islam dan kaum muslimin.
Sebagai penyambung pesan Nabi di era modernisasi, keberadaan Guru (lagi-lagi) diuntungkan dalam kapasitasnya sebagai tenaga pendidik di lembaga pendidikan, mereka berkesempatan memberikan sanggahan terhadap pelbagai penyesatan opini terhadap Islam dan kaum muslimin oleh pelbagai pihak dan memberikan contoh positif (uswatun hasanah) kepada peserta didik bahwa Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanity).
3. Motif Edukatif, motif ini merupakan core dan concerning bagi penulis, karena dengan menjadi seorang guru, maka kita telah belajar untuk menjadi spiral of silent bagi masyarakat untuk memberikan pelbagai informasi yang senantiasa mereka butuhkan, terutama informasi-informasi penting yang selama ini hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. Selain itu, guru dapat menyampaikan segala sesuatu lebih santun dan leluasa, tanpa mengurangi esensi kritis yang disertai argumen logis.
Di samping itu, dengan menjadi guru, secara tidak sadar guru telah belajar bagaimana meningkatkan performanya dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Tak heran, bila semakin lama pengalaman guru mengajar, semakin bertambah pula kemampuan Guru tersebut dalam merencanakan (planning), melaksanakan (implementation), dan mengevaluasi (evaluation) pembelajaran baik di dalam kelas (inside the class) maupun di luar kelas (outside the class).
4. Motif Stimulasi-Provokatif, motif ini merupakan kulminasi dari tiga motif yang telah disebutkan di atas, harapannya semoga dengan menjadi seorang guru, penulis dapat menginspirasi orang lain dalam rangka menyebarkan kebenaran, salah satunya dengan menjadi guru. Dan tidak menutup kemungkinan masih banyak jalan lain untuk berbuat kebajikan di dunia.
Keempat motif di atas menjadi pertimbangan penulis untuk menjadi guru, penulis berharap dengan menjadi guru kita bisa meneladani kegemilangan Rasulullah ﷺ yang akhirnya beliau dapat menjadikan negeri penyamun dan biadab menjadi negeri yang santun dan beradab. Menciptakan tatanan masyarakat baru dan lebih toleran, mewujudkan sistem pemerintahan berasaskan keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, akomodatif dan kooperatif, jauh dari kesan anarkisme, penjajah, dan diskriminatif. Mendidik masyarakat menjadi lebih produktif, profesional, dan kontributif.
Sekiranya kita berkaca pada seorang Rasulullah ﷺ sebagai sosok pribadi yang mulia di hadapan Allah dan terhormat di kalangan manusia yang terkenal dengan sebutan Al-Amin, sebuah gelar yang hanya disematkan pada mereka yang memiliki kesempurnaan, tidak hanya sebagai intelektualis, tapi juga sebagai fungsionaris, gelar yang tidak sembarang orang mendapatkannya.
Seandainya para generasi penerus Rasulullah ﷺ dapat melanjutkan estapeta pendidikan, mulai dari lingkungan keluarga, kemudian mentransmisikannya kepada masyarakat, bangsa dan negara, sampai seluruh makhluk di alam bumi ini, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran menjadi kenyamanan, rasa curiga menjadi saling percaya, sampai serigala buas pun ikut bersyukur dan tak lagi memangsa manusia, tak ada yang mesti dirisaukan dalam kehidupan ini.